Friday, November 03, 2006

Mudik ke Padang

Lebaran tahun ini saya bersama keluarga mudik ke Padang dan Bukittinggi. Ke Padang ke rumah ibu dan ke Bukittinggi ke rumah mertua. Kami pulang setelah merayakan lebaran di Bandung. Oh ya, lebaran tahun ini terasa sumbing, pasalnya terjadi perbedaan hari raya antara dua ormas Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal pada tanggal 23 Oktober 2006, sedangkan NU dan Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 24 Oktober 2006. Di kalangan akar rumput terjadi kebingungan karena perbedaan itu, meskipun akhirnya perbedaan itu disikapi biasa-biasa saja dan tidak terjadi pertentangan. Mungkin karena orang Islam di Indonesia sudah biasa merasakan hari raya yang berbeda hari. Sebagian masyarakat shalat Ied pada tanggal 23 Oktober, sebagian lagi 24 Oktober. Saya akhirnya memilih shalat Ied pada tanggal 23 Oktober 2006 setelah menelpon ke Padang kapan shalat Ied di sana. Di Padang sendiri sebagian besar masyarakatnya berlebaran pada hari Senin 23 Oktober 2006 (mungkin karena Muhammadiyah sangat berpengaruh di kota ini), jadi saya sesuaikan saja dengan waktu shalat Ied di Padang agar mengucapkan selamat lebaran dengan keluarga di sana tetap pada hari yang sama (he..he. ada-ada saja alasan saya ini ya).

Menjejakkan kaki di kota ini saya tidak melihat banyak perubahan. Memang banyak bangunan baru termasuk mal dan plaza, tetapi kehidupan terasa berjalan lamban. Kemiskinan mudah ditemukan di mana-mana di sudut kota. Orang-orang terlihat tidak begitu bersemangat, maklum lowongan kerja di kota ini sangat sedikit sementara tingkat pengangguran tinggi. Di Padang tidak banyak terdapat industri seperti halnya di Pekanbaru. Waktu saya ke Pekanbaru saya melihat kota ini sangat dinamis, ramai, dan terlihat bergairah. Maklum saja, di Pekanbaru dan sekitarnya terdapat banyak industri, mulai pertambangan minyak (Caltex), perkebunan kelapa sawit, pabrik pulp, dan sebagainya.

Barulah di Bukittinggi saya melihat kehidupan yang bergairah. Maklum saja Bukittinggi adalah kota wisata dan perlintasan kendaraan dari selatan Sumatera menuju utara. Pasar-pasar di Bukittinggi ramai terus oleh wisatawan yang ingin berbelanja kerajinan khas seperti sulaman, bordiran, tenunan, maupun menikmati masakan minang asli seperti nasi kapau. Saya penasaran juga ingin mencoba seperti apa masakan nasi kapau Uni Lis di Pasar Atas Bukittinggi. Untuk diketahui, ketika Presiden SBY berkunjung ke Bukittinggi beberapa bulan yang lalu, ia tidak canggung-canggung berjalan dari Istana Tri Arga menyusuri lorong- lorong pertokoan Pasar Atas hanya untuk makan di rumah makan nasi kapau Uni Lis ini. Rumah makan Uni Lis ini hanya berupa kedai biasa yang sempit, tetapi entah kenapa SBY tidak sungkan makan nasi kapau di sana sampai berkeringat. Setelah saya coba makan di sana dengan dendeng balado, maka komentar saya adalah: cukup sekali ini saja makan nasi kapau Uni Lis karena rasanya pedaaaaasss sekali, lebih pedas dari sambal di Padang maupun di Bandung. Meskipun saya biasa makan masakan pedas, tetapi masakan Uni Lis ini luar biasa pedasnya (ah.. mungkin karena sudah lama di Bandung menikmati masakan Padang yang sudah disesuaikan tingkat kepedasannya sehingga saya sulit lagi beradaptasi dengan kepedasan cabe di Bukittinggi).

Ngomong-ngomong, pedasnya cabe di Bukittingi dan Kabupaten Agam memang melebihi rasa pedas cabe di kota dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Makanya pengusaha keripik balado Christine Hakim di derah Pondok kota Padang menggunakan cabe dari Kabupaten Pasaman ketimbang cabe dari Bukittinggi dan Agam, karena cabe Pasaman tidak sepedas cabe Bukittingi.

Begitulah, mudik tahun ini membawa kesan tersendiri meskipun saya merasa masih ada yang kurang, karena saya tidak sempat ziarah ke makam ayahanda di bukit Seberang Padang. Ini karena saya harus membagi waktu berkunjung ke rumah-rumah saudara baik di Padang maupun di Bukittinggi sehingga waktu yang hanya 6 hari habis untuk kunjung berkunjung saja. Insya Allah saya akan ke sana lagi selagi ibu masih hidup di Padang. Jika ibu tidak ada lagi, mungkin semangat saya untuk mudik ke Padang akan mengendur. Bagi saya, orangtua adalah sumber inspirasi dan penambah semangat hidup. Kini hanya tinggal ibu saya di Padang mengisi hari-hari sepinya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home