Tuesday, November 14, 2006

Berhenti Bertanya Adalah Bencana

Anak saya yang nomor dua usianya baru 5 tahun lebih, masih duduk di TK besar, tetapi dia suka sekali bertanya ini dan itu. Setiap saya bawa dia jalan-jalan naik kereta api, bus, motor, atau taksi, maka sepanjang jalan mulutnya tidak pernah berhenti bertanya tentang objek yang dilihatnya. Misalnya, mengapa mobil yang di depan lebih kencang dari taksi? Mana yang lebih panjang bus Primajasa dengan bus DAMRI? Mengapa kereta api jalurnya dua? Mengapa bus berjalan di jalur kanan? dan sebagainya. Tiada kesempatan bagi saya untuk istirahat sejenak di dalam kendaraan karena harus menjawab pertanyaan bocah ini. Barulah kalau dia capek bertanya maka dia akan tertidur sendiri di dalam kendaraan, tetapi setelah bangun dia akan mulai meluncurkan seabreg pertanyaan lagi.

Sedapat mungkin saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi kadang-kadang kalau saya tidak bisa menjawabnya atau masa menjawab, saya jawab asal-asalan saja. Misalnya mengapa mobil kijang yang di depan larinya kencang, ya saya jawab karena bensinya banyak. Eh, saya sadar ini jawaban salah, sebab ketika anak saya melihat mobil di belakang berjalan lebih lambat daripada taksi kami, dia langsung berkomentar begini: "Yah, mobil di belakang bensinnya tinggal sedikit makanya pelan". Duh, tentu bukan itu alasannya, bisa jadi karena sopirnya ingin pelan saja (kata saya dalam hati). Sejak itu saya selalu memberikan jawaban yang sekiranya masuk akal bagi anak kecil dan dapat dimengerti olehnya, tentu saja jawaban tersebut bukan jawaban ngaco.

Kata orang, anak yang suka bertanya menunjukkan tingkat kecerdasan si anak. Mudah-mudahan saja demikian, karena kakaknya sebaliknya, lebih banyak diam dan jarang bertanya. Sebagai orangtua, kita harus menumbuhkan kebiasaan bertanya pada anak. Kadang-kadang ada orangtua karena merasa capek meladeni pertanyaan anak maka dia menghardik si anak dengan kata-kata "udah ah, nanya melulu". Akibatnya fatal, si anak akan mulai berhenti bertanya.

Jika anak berhenti bertanya itu berarti bencana. Sifat kritis anak bisa hilang. Dia akan menyimpan sendiri pertanyaan itu di dalam hati tanpa keinginan untuk mencari jawabannya karena ia takut dimarahi. Sampai dewasa pun dia akan diliputi keraguan -bahkan ketakutan- untuk bertanya, khawatir pertanyaannya itu bisa memunculkan kemarahan orang yang ditanya. Jadi, dia lebih memili diam saja atau sedikit berkomentar.

Di zaman Orde Baru, rakyat dibungkam untuk mengajukan pertanyaan kritis kepada Pemeringahan Soeharto, apalagi mempertanyakan kekayaan, hak istimewa, dan monopli keluarga Cendana yang begitu hebat mencengkeram kekayaan bumi pertiwi. Salah-salah bertanya bisa dianggap subversif, ujungnya-ujungnya bisa masuk bui. Pak Harto paling sering mengadakan sarasehan dengan para petani atau peternak. Publik sudah menduga bahwa acara sarasehan yang sering disiarkan oleh TVRI sudah direkayasa oleh panita acara. Setelah Pak Harto selesai berbicara panjang lebar soal pertanian dan disimak secara takzim oleh para petani, maka Pak Harto pun mempersilakan petani mengajukan pertanyaan. Sepertinya petani yang bertanya sudah diatur siapa orangnya dan pertanyaan apa yang akan diajukan. Ini penting sebab jika tidak begitu bisa muncul pertanyaan liar yang mengarah kepada kekuasaan Pak Harto (apalagi acara tersebut disiarkan secara langsung dan diulang lagi pada malam hari).
Sekarang di zaman reformasi, kekakuan bertanya seperti itu sudah hilang. Orang bebas berdemonstrasi, mengajukan pendapat, bertanya ini dan itu. Tapi reformasi sering dianggap orang sudah kebablasan, akibatnya banyak pihak yang membonceng era kebebasan ini dengan berekpresi yang tidak mengindahkan norma dan agama.

Kembali ke masalah bertanya tadi. Di kelas-kelas sekolah dari SD sampai Perguruan tinggi kita sering menemukan kelas yang "diam". Maksudnya, setelah guru atau dosen menjelaskan materi ajar jarang siswa yang bertanya. Ketika dosen di kelas menerangkan materi ajar, lalu dia mengatakan "ada pertanyaan?". Seisi kelas terdiam. Hanya satu dua yang bertanya, sebagian besar diam saja, entah karena dia sudah mengerti dengan apa yang diterangkan atau malu bertanya. Untuk kasus yang terakhir, yaitu malu bertanya, mungkin hal ini disebabkan pengalaman sejak masa kecil dimana anak-anak tidak diberikan iklim yang kondusif untuk bertanya (jika bertanya takut dibentak, misalnya). Ini memang karakteristik orang timur yang tidak biasa mengekspresikan pertanyaan secara verbal, berbeda dengan di Barat dimana sejak kecil anak-anak sudah dilatih kritis mengungkapkan pendapat secara lisan dan tidak segan-segan bertanya (seperti kita lihat pada film-film Hollywood).

Meskipun bertanya itu penting, namun yang juga harus diperhatikan adalah kualitas pertanyaan. Untuk bertanya orang harus banyak membaca. Membaca tidak harus dari buku, tetapi juga dari melihat fakta di lapangan, mengumpulkan bukti pendukung, mengumpulkan informasi dari pihak-pihak yang kompeten. Dari membaca itulah orang dapat mengajukan pertanyaan yang berbobot. Aneh jika seseorang bertanya sesuatu yang sebenarnya jawabannya sudah diketahui. Hal ini juga berlaku dalam dunia akademis. Mahasiswa harus banyak membaca bahan-bahan baik dari buku teks, jurnal, maupun materi dari internet. Setidaknya dari membaca itu timbul pertanyaan baru yang harus dipecahkan dan dicari jawabannya. Inilah inti dari riset, yaitu apa masalahnya, dari situlah dicari jawabannya.

1 Comments:

Blogger Ismail Habib said...

Mungkin perlu dibuat tugas kuliah untuk membuat pertanyaan berdasarkan paper tertentu Pak Rin :)

12:32 AM  

Post a Comment

<< Home