Sunday, December 10, 2006

Partai Baru untuk Apa?

Sabtu sore, 9 Desember kemaren, ketika pulang ke rumah, saya terjebak kemacetan di daerah Gasibu dan sekitarnya. Penyebab kemacetan rupanya karena acara ulang tahun sebuah partai baru yang merupakan pecahan dari partai besar. Pendukung partai yang jumlahnya diperkirakan 10.000 orang memadati lapangan kecil itu untuk melihat pimpinannya berorasi dan seperti biasa ada hiburan musik dangdut. Mereka datang berombongan dengan puluhan bus dan mobil. Yang datang tidak hanya pemuda, tetapi juga nenek-nenek pun ikut serta. Bis-bis yang parkir dan ribuan orang yang berlalu lalang menyebabkan jalan di sekitarnya macet. Apalagi waktu itu usai hujan deras, macetpun makin menjadi.

Menarik melihat wajah-wajah kelelahan simpatisan partai baru ini yang masih berbasah-basah. Kebanyakan mereka memakai kaos bergambar logo partai. Wajah-wajah polos mereka menggambarkan simpatisan ini kebanyakan "didatangkan" dari desa-desa maupun dari daerah pinggiran Bandung. Saya sebut "didatangkan" karena saya meragukan mereka datang dengan kesadaran sendiri. Kenapa demikian? Lha, partainya saja belum jelas apakah bisa lolos ikut Pemilu 2009 atau tidak. Sebuah partai baru yang tidak dikenal dan bisa mendatangkan ribuan orang ke acara partai jelas mengundang pertanyaan bagaimana orang-orang itu bisa datang. Jawabannya mudah saja: yang penting ada uang. Zaman sekarang dimana kehidupan susah, siapa yang tidak tertarik dengan bayaran uang atau hadiah lain untuk mengikuti acara gelaran partai, kampanye, demo, dan sebagainya. Padahal boleh jadi mereka bukan pendukung partai tersebut, tetapi karena dibayar, diberi kaos, dikasih makan, dan pergi naik bus atau truk gratis, maka orang-orang desa yang polos ini mau bersusah-susah datang ke Bandung untuk menghadiri acara yang mereka sendiri tidak kenal pengurus partai dan tokoh-tokohnya, tidak kenal programnya. Mereka tidak mengerti apa yang diorasikan oleh orang-orang penting di panggung. Yang penting mereka bisa gratis jalan-jalan ke Bandung, dapat uang, makan, dan berjoget ria dihibur oleh penyanyi dangdut yang sensual.

Di zaman sekarang, membuat partai gampang. Asal punya uang banyak, maka anda dapat membuat partai baru. Uang penting karena ia merupakan alat yang ampuh untuk menarik simpatisan. Makanya tidak heran pengurus atau tokoh partai baru kebanyakan adalah pengusaha atau orang kaya. Simpatisan bisa dicari asalkan ada uang. Di dalam politik seolah berlaku pameo "ada uang ada orang". Ada orang yang langganan ikut kampanye, demo, atau apapun namanya, dari partai yang berbeda-beda. Hari ini dia ikut acara orasi partai A, minggu depan ia terlihat pada acara orasi partai B. Bahkan, tidak jarang pencarian orang ini dibisniskan. Ada orang yang punya usaha untuk memobilisasi massa ke acara sebuah partai. Berapapun jumlah orang yang anda minta untuk hadir di acara partai anda, mereka sanggup mendatangkannya. Tetapi tidak ada jaminan orang-orang tersebut akan memilih partai anda di dalam Pemilu nanti. Ini murni bisnis, Bung!

Partai-partai baru ini, yang sebagian besar akan menjadi partai gurem alias partai kerdil, tidak pernah belajar dari kekalahan partai-partai kecil pada era Pemilu yang lampau. Di Indonesia, mayoritas orang memilih partai pada Pemilu lebih banyak ditentukan oleh irasionalitas ketimbang program partai. Mereka memilih partai karena alasan ideologis atau kepopuleran tokoh-tokoh patai. Partai-partai gurem yang tokohnya tidak dikenal jangan harap akan mendapat dukungan. Nama-nama partai yang aneh-aneh tidak menjamin orang mau memilih. Di Bandung bulan lalu, di sebuah hotel berbintang dikukuhkan pengurus DPD partai yang bernama Partai Pembela Rakyat Nasional (PPRN). Di Jakarta, seorang artis mendeklarsikan partai yang bernama Partai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Partai-partai semacam ini diperkirakan akan menjadi gurem.

Lalu, buat apa mendirikan partai?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home