Thursday, November 30, 2006

Oh, Siswa-siswi SMA Kita!

Waktu naik kendaraan pergi-pulang rumah-kampus, kita sering menemukan pemandangan yang membuat kita geleng-geleng kepala. Siswi-siswi SMA berboncengan naik sepeda motor dengan posisi menghadap ke depan. Posisi itu dimungkinkan karena mereka memakai rok abu-abu yang ukurannya minim (di atas lutut) dan nge-pas di badan. Dulu, jika perempuan duduk di boncengan motor posisinya adalah menyamping. Posisi tersebut demikian karena wanita memakai kain atau rok yang panjang sekaki. Duduk di boncengan dengan posisi menghadap ke depan dianggap tidak sopan. Tetapi, sekarang nilai-nilai sudah berubah, maka posisi duduk tersebut terlihat dianggap biasa saja.

Kembali ke soal seragam SMA. Anak-anak SMA sekarang, termasuk SMP, memakai seragam yang melanggar aturan sekolah umumnya. Rok pendek di atas lutut yang nge-pas dan baju yang dikeluarkan (tidak dimasukkan ke dalam rok atau celana). Siswa laki-laki lain lagi, mereka memakai celana panjang yang seakan-akan mau melorot, sebentar-sebentar celana ditarik ke atas. Kalau duduk di dalam angkot kelihatan celana dalamnya.

Selidik punya selidik ternyata mode seragam seperti itu banyak meniru perilaku artis sinetron yang memerankan anak sekolahan. Lihatlah sinetron yang hampir setiap malam tayang di TV. Sinetron sekolahan yang temanya itu itu saja: persaingan memperebutkan cowok atau cewek. Sama sekali perilaku mereka tidak menampilkan perilaku pelajar umumnya. Seragamnya saja sudah begitu: siswi memakai rok pendek di atas lutut, baju dikeluarkan. Begitu pula siswanya. Meskipun cerita sinetron menampikan lingkungan sekolah, namun mayoritas adegan di dalam sinetron adalah sikap sinikal, intrik, dan persaingan antara siswa/i dalam memperebutkan cinta. Sama sekali tidak ada adegan yang memperlihatkan siswa kerja keras mempersiapkan ujian, mengerjakan PR, atau diskusi mengenai materi pelajaran. Adegan malam hari tidak jauh-jauh dari dugem, pesta, kencan di kafe atau mal. Benar-benar sinetron yang tidak mendidik. Anehnya, masih ada pihak sekolah yang mengizinkan sekolahnya sebagai lokasi shooting untuk sinetron sampah semacam itu. Gaya hidup seperti di sinetron itu pulalah yang ditiru oleh pelajar-pelajar kita. Ujung-ujungnya gaya hidup semacam ini mengarah ke permisivisme, yaitu paham yang serba membolehkan. Makanya tidak heran kita mendengar kasus pelajar hamil di luar nikah, pelajar tertangkap membawa atau mengisap narkoba, atau survei yang menyebutkan bahwa sebagian besar remaja di perkotaan sudah berhubungan seks sebelum menikah. Astaghfirullah!

Entah sampai kapan penetrasi budaya negatif semacam ini terus berlangsung. Hanya pendidikan moral dan agama yang cukup yang bisa membentengi anak-anak muda dari pengaruh negatif kebudayaan. Saya tidak melihat ada cara lain untuk menyelamatkan generasi muda selain pendidikan dua nilai tersebut.

Tuesday, November 28, 2006

Ditilang Polisi dan Budaya Korupsi

Sudah beberapa kali saya ditilang polisi jalan raya karena melanggar rambu-rambu lalu lintas. Memang saya sering tidak awas mengendarai sepeda motor, kadang-kadang saya memasuki lajur jalan yang belum boleh dimasuki sebelum jam 16.00 (Jalan Bogor dan Jalan Jakarta di daerah Cicadas), atau berhenti melewati zebra cross pada persimpangan lampu merah (kejadian di pertigaan Dago-Cikapayang-Surapati, di bawah jalan layang Pasupati).

Seperti biasa polisi yang menangani pelanggaran saya menggiring saya ke suatu tempat lalu menyebutkan pelanggaran yang saya lakukan beserta pasal-pasalnya. Setelah memeriksa SIM dan STNK, ujung-ujungnya polisi tersebut menanyakan apakah saya akan disidang di pengadilan atau "disini" saja. Saya pun mengerti maksud "di sini", artinya diselesaikan di jalan saja tanpa perlu melalui sidang pengadilan. UUD lah, apa lagi. Karena saya tidak memiliki banyak waktu, maka saya terpaksa memilih "di sini" saja, yaitu memebri polisi tadi sejumlah uang, sebab jika memilih sidang di pengadilan prosesnya belum tentu cepat. Pembaca koran PR pernah menulis kekesalannya karena sidang pelanggaran lalu lintas yang ia jalani ternyata sering dibatalkan, mana tempatnya jauh lagi.

Saya sering merasa bersalah (kalau tidak bisa dibilang berdosa) jika menyelesaikan pelanggaran lalu lintas ini dengan memberikan uang kepada polisi tadi. Secara tidak langsung saya telah membuat polisi tadi melakukan korupsi. Uang yang saya berikan belum tentu masuk ke kas kepolisian, tetapi masuk ke kantong polisi tadi, sebab tidak ada bukti kwitansinya. Semua orang hampir mahfum bahwa demikianlah cara oknum polisi menambah penghasilan. Kita semua tahu bahwa gaji polisi tergolong kecil, maka seolah wajar jika sebagian oknum polisi mencari penghasilan di jalan. Polisi yang baik tentu tidak akan menawarkan alternatif penyelesaian di jalan. Penyelesaian pelanggaran adalah di pengadilan. Untuk itu, pengadilan harus dibuat sedemikain rupa sehingga proses pengadilan mangkus dan cepat. Di zaman dimana waktu demikian penting jelas orang enggan membuang-buang waktu mengikuti pengadilan untuk persoalan pelanggaran sepele itu. Bahkan, kalau perlu pengadilan langsung di tempat, dengan bukti-bukti tertulis hasil sidang yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut saya ada empat profesi yang perlu diberi pengahragaan (baca: gaji) yang tinggi agar tidak timbul penyalahgunaan jabatan (baca: korupsi, manipulasi, kolusi, dsv). Keempat profesi itu adalah guru, polisi, jaksa, dan hakim. Selama ini gaji orang-orang yang berprofesi empat macam tadi tergolong kecil, maka tidak heran kita sering mendengar pelanggaraan yang dilakukan oleh mereka yang ujung-ujungnya adalah menambah penghasilan. Kita pernah mendengar oknum guru sering memperjualbelikan nilai, membocorkan soal ujian, membuat ijazah palsu untuk siswa, atau menjual bangku murid baru. Kita juga sering mendengar oknum jaksa atau hakim yang bisa "dibeli" agar perkara hukum bisa diarahkan sesuai kepentingan terdakwa. Kalau mengenai polisi sudah tidak terhitung banyak penyimpangan yang terjadi.

Memang, gaji tinggi bukanlah satu-satunya cara menjamin seseorang bekerja dengan integritas yang baik. Masih diperlukan ketahanan moral, agama, dan nilai-nilai positif lainnya agar seseorang terjaga integritas moralnya. Penanaman nilai-nilai moral dan agama itu penting ditumbuhkan sejak dini di dalam keluarga. Negara hanya akan baik jika elemen terkecil negara, yaitu keluarga, juga baik. Jika keluarga rusak, maka rusak pulalah negara.

Thursday, November 23, 2006

Mal Cicadas dan Pedagang yang Tergusur

Di daerah Cicadas, Bandung, tepatnya di jalan Kiaracondong, sedang dibangun mal baru yang bernama Bandung Trade Mall (BTM). Lokasi BTM menempati bekas Pasar Cicadas. Pasar Cicadas dulunya cukup besar dan menampung ratusan pedagang tradisionil, kebanyakan berjualan kebutuhan dapur. Terus terang saja, seperti pasar tradisonil lainnya, Pasar Cicadas kumuh dan kotor. Jika hari hujan maka pasar menjadi becek dan tidak nyaman untuk berbelanja. Melihat kondisi pasar yang kumuh, reot, dan mengganggu keindahan kota, maka Pemkot Bandung menggusur pasar itu dan menawarkannya kepada pengusaha besar untuk membangun pasar modern, yaitu BTM.

Mudah ditebak, penggusuran pedagang dari pasar tersebut menimbulkan gelombang protes karena nasib mereka pasti akan terancam dan kehilangan mata pencaharian. Tetapi Pemkot tampaknya tetap bergeming pada pendiriannya. Bayangan memperoleh pajak besar dari pengusaha mal dan uang siluman lainnya menyebabkan Pemkot tidak mendengar jeritan pedagang pasar lama. Dengan iming-iming bahwa pedagang pasar lama diprioritaskan menempati mal, maka pembangunan mal tetap berjalan terus. Sebagai tempat penampungan sementara, maka para pedagang pasar lama dipindahkan ke bekas pasar Super Bazaar yang sudah bangkrut.

Di tempat penampungan sementara nasib para pedagang itu tidak lebih baik dari tempat lama. Tempat yang tidak strategis dan sepi pembeli membuat para pedagang tersebut frustasi. Akhirnya, mereka pun kembali menggelar dagangan di sepanjang jalan mulai dari Matahari Dept. Store hingga di depan BTM yang sedang dibangun. Jalan yang sudah sempit itu semakin sempit karena para pedagang memakan setengah badan jalan. Kemacetan setiap pagi pun tidak terhindarkan. Sepenggal jalan Kiaracondong itu menjadi semrawut dan kotor. Pembeli, pedagang kakilima, dan mang-mang becak bercampur baur meramaikan badan jalan di tengah hiruk pikuk klakson kendaraan yang meminta jalan. Entah sampai kapan kondisi ini berlangsung.

Sudah sering terjadi bahwa pembangunan pasar-pasar modern seperti mal dan plaza akan menyengsarakan pedagang kecil. Mereka terus dipinggirkan dan nasib mereka semakin tidak menentu. Yang diuntungkan tentu saja pengusaha besar dan Pemerintah Kota. Tidak semua warga kota membutuhkan kehadiran mal. Pasar-pasar tradisionil tetap diperlukan karena sebagian besar masyarakat kita berada pada strata ekonomi menengah ke bawah yang mempunyai daya beli rendah. Seharusnya Pemkot justru meremajakan pasar tradisionil tersebut dan membangun pasar yang lebih layak. Mal dan plaza sudah terlalu banyak di Bandung jadi tidak perlu ditambah lagi. Pasar tradisionil tetap punya kekhasan yang tidak dipunyai pasar modern. Di pasar tradisionil kita masih bisa melakukan tawar menawar dan hubungan antar orang yang lebih manusiawi.

Janji bahwa pedagang lama diprioritaskan menempati mal baru tidak seluruhnya benar. Harga kios baru yang super mahal tentu mencekik leher pedagang lama. Tidak semua mereka mampu membeli kios baru. Bahkan yang menyedihkan, para pedagang lama ini yang kebanyakan menjual barang-barang basah ditempatkan di lantai basement yang pengap, gelap, dan tidak strategis. Contoh ini sudah terjadi di Pasar Baru Bandunng, pedagang basahan ditempatkan di lantai basement yang untuk mencapainya tidak semudah lantai-lantai lainnya. Pintu masuknya pun hanya beberapa. Lokasi yang tidak strategis menyebabkan pengunjung sepi, sangat kontras dengan lantai-lantai di atasnya yang mempunyai elevator dan penyejuk udara serta ramai dengan pengunjung.Begitulah yang terus terjadi di negeri ini. Pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil menyebabkan rakyat kecil terus terpinggirkan. Hidup mereka semakin susah saja. Mereka hanya menjadi penonton di tengah pembangunan yang terus berlangung. Yang kaya semakin kaya, seangka yang miskin tetap saja miskin.

Tuesday, November 14, 2006

Berhenti Bertanya Adalah Bencana

Anak saya yang nomor dua usianya baru 5 tahun lebih, masih duduk di TK besar, tetapi dia suka sekali bertanya ini dan itu. Setiap saya bawa dia jalan-jalan naik kereta api, bus, motor, atau taksi, maka sepanjang jalan mulutnya tidak pernah berhenti bertanya tentang objek yang dilihatnya. Misalnya, mengapa mobil yang di depan lebih kencang dari taksi? Mana yang lebih panjang bus Primajasa dengan bus DAMRI? Mengapa kereta api jalurnya dua? Mengapa bus berjalan di jalur kanan? dan sebagainya. Tiada kesempatan bagi saya untuk istirahat sejenak di dalam kendaraan karena harus menjawab pertanyaan bocah ini. Barulah kalau dia capek bertanya maka dia akan tertidur sendiri di dalam kendaraan, tetapi setelah bangun dia akan mulai meluncurkan seabreg pertanyaan lagi.

Sedapat mungkin saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi kadang-kadang kalau saya tidak bisa menjawabnya atau masa menjawab, saya jawab asal-asalan saja. Misalnya mengapa mobil kijang yang di depan larinya kencang, ya saya jawab karena bensinya banyak. Eh, saya sadar ini jawaban salah, sebab ketika anak saya melihat mobil di belakang berjalan lebih lambat daripada taksi kami, dia langsung berkomentar begini: "Yah, mobil di belakang bensinnya tinggal sedikit makanya pelan". Duh, tentu bukan itu alasannya, bisa jadi karena sopirnya ingin pelan saja (kata saya dalam hati). Sejak itu saya selalu memberikan jawaban yang sekiranya masuk akal bagi anak kecil dan dapat dimengerti olehnya, tentu saja jawaban tersebut bukan jawaban ngaco.

Kata orang, anak yang suka bertanya menunjukkan tingkat kecerdasan si anak. Mudah-mudahan saja demikian, karena kakaknya sebaliknya, lebih banyak diam dan jarang bertanya. Sebagai orangtua, kita harus menumbuhkan kebiasaan bertanya pada anak. Kadang-kadang ada orangtua karena merasa capek meladeni pertanyaan anak maka dia menghardik si anak dengan kata-kata "udah ah, nanya melulu". Akibatnya fatal, si anak akan mulai berhenti bertanya.

Jika anak berhenti bertanya itu berarti bencana. Sifat kritis anak bisa hilang. Dia akan menyimpan sendiri pertanyaan itu di dalam hati tanpa keinginan untuk mencari jawabannya karena ia takut dimarahi. Sampai dewasa pun dia akan diliputi keraguan -bahkan ketakutan- untuk bertanya, khawatir pertanyaannya itu bisa memunculkan kemarahan orang yang ditanya. Jadi, dia lebih memili diam saja atau sedikit berkomentar.

Di zaman Orde Baru, rakyat dibungkam untuk mengajukan pertanyaan kritis kepada Pemeringahan Soeharto, apalagi mempertanyakan kekayaan, hak istimewa, dan monopli keluarga Cendana yang begitu hebat mencengkeram kekayaan bumi pertiwi. Salah-salah bertanya bisa dianggap subversif, ujungnya-ujungnya bisa masuk bui. Pak Harto paling sering mengadakan sarasehan dengan para petani atau peternak. Publik sudah menduga bahwa acara sarasehan yang sering disiarkan oleh TVRI sudah direkayasa oleh panita acara. Setelah Pak Harto selesai berbicara panjang lebar soal pertanian dan disimak secara takzim oleh para petani, maka Pak Harto pun mempersilakan petani mengajukan pertanyaan. Sepertinya petani yang bertanya sudah diatur siapa orangnya dan pertanyaan apa yang akan diajukan. Ini penting sebab jika tidak begitu bisa muncul pertanyaan liar yang mengarah kepada kekuasaan Pak Harto (apalagi acara tersebut disiarkan secara langsung dan diulang lagi pada malam hari).
Sekarang di zaman reformasi, kekakuan bertanya seperti itu sudah hilang. Orang bebas berdemonstrasi, mengajukan pendapat, bertanya ini dan itu. Tapi reformasi sering dianggap orang sudah kebablasan, akibatnya banyak pihak yang membonceng era kebebasan ini dengan berekpresi yang tidak mengindahkan norma dan agama.

Kembali ke masalah bertanya tadi. Di kelas-kelas sekolah dari SD sampai Perguruan tinggi kita sering menemukan kelas yang "diam". Maksudnya, setelah guru atau dosen menjelaskan materi ajar jarang siswa yang bertanya. Ketika dosen di kelas menerangkan materi ajar, lalu dia mengatakan "ada pertanyaan?". Seisi kelas terdiam. Hanya satu dua yang bertanya, sebagian besar diam saja, entah karena dia sudah mengerti dengan apa yang diterangkan atau malu bertanya. Untuk kasus yang terakhir, yaitu malu bertanya, mungkin hal ini disebabkan pengalaman sejak masa kecil dimana anak-anak tidak diberikan iklim yang kondusif untuk bertanya (jika bertanya takut dibentak, misalnya). Ini memang karakteristik orang timur yang tidak biasa mengekspresikan pertanyaan secara verbal, berbeda dengan di Barat dimana sejak kecil anak-anak sudah dilatih kritis mengungkapkan pendapat secara lisan dan tidak segan-segan bertanya (seperti kita lihat pada film-film Hollywood).

Meskipun bertanya itu penting, namun yang juga harus diperhatikan adalah kualitas pertanyaan. Untuk bertanya orang harus banyak membaca. Membaca tidak harus dari buku, tetapi juga dari melihat fakta di lapangan, mengumpulkan bukti pendukung, mengumpulkan informasi dari pihak-pihak yang kompeten. Dari membaca itulah orang dapat mengajukan pertanyaan yang berbobot. Aneh jika seseorang bertanya sesuatu yang sebenarnya jawabannya sudah diketahui. Hal ini juga berlaku dalam dunia akademis. Mahasiswa harus banyak membaca bahan-bahan baik dari buku teks, jurnal, maupun materi dari internet. Setidaknya dari membaca itu timbul pertanyaan baru yang harus dipecahkan dan dicari jawabannya. Inilah inti dari riset, yaitu apa masalahnya, dari situlah dicari jawabannya.

Friday, November 03, 2006

Mudik ke Padang

Lebaran tahun ini saya bersama keluarga mudik ke Padang dan Bukittinggi. Ke Padang ke rumah ibu dan ke Bukittinggi ke rumah mertua. Kami pulang setelah merayakan lebaran di Bandung. Oh ya, lebaran tahun ini terasa sumbing, pasalnya terjadi perbedaan hari raya antara dua ormas Islam terbesar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal pada tanggal 23 Oktober 2006, sedangkan NU dan Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 24 Oktober 2006. Di kalangan akar rumput terjadi kebingungan karena perbedaan itu, meskipun akhirnya perbedaan itu disikapi biasa-biasa saja dan tidak terjadi pertentangan. Mungkin karena orang Islam di Indonesia sudah biasa merasakan hari raya yang berbeda hari. Sebagian masyarakat shalat Ied pada tanggal 23 Oktober, sebagian lagi 24 Oktober. Saya akhirnya memilih shalat Ied pada tanggal 23 Oktober 2006 setelah menelpon ke Padang kapan shalat Ied di sana. Di Padang sendiri sebagian besar masyarakatnya berlebaran pada hari Senin 23 Oktober 2006 (mungkin karena Muhammadiyah sangat berpengaruh di kota ini), jadi saya sesuaikan saja dengan waktu shalat Ied di Padang agar mengucapkan selamat lebaran dengan keluarga di sana tetap pada hari yang sama (he..he. ada-ada saja alasan saya ini ya).

Menjejakkan kaki di kota ini saya tidak melihat banyak perubahan. Memang banyak bangunan baru termasuk mal dan plaza, tetapi kehidupan terasa berjalan lamban. Kemiskinan mudah ditemukan di mana-mana di sudut kota. Orang-orang terlihat tidak begitu bersemangat, maklum lowongan kerja di kota ini sangat sedikit sementara tingkat pengangguran tinggi. Di Padang tidak banyak terdapat industri seperti halnya di Pekanbaru. Waktu saya ke Pekanbaru saya melihat kota ini sangat dinamis, ramai, dan terlihat bergairah. Maklum saja, di Pekanbaru dan sekitarnya terdapat banyak industri, mulai pertambangan minyak (Caltex), perkebunan kelapa sawit, pabrik pulp, dan sebagainya.

Barulah di Bukittinggi saya melihat kehidupan yang bergairah. Maklum saja Bukittinggi adalah kota wisata dan perlintasan kendaraan dari selatan Sumatera menuju utara. Pasar-pasar di Bukittinggi ramai terus oleh wisatawan yang ingin berbelanja kerajinan khas seperti sulaman, bordiran, tenunan, maupun menikmati masakan minang asli seperti nasi kapau. Saya penasaran juga ingin mencoba seperti apa masakan nasi kapau Uni Lis di Pasar Atas Bukittinggi. Untuk diketahui, ketika Presiden SBY berkunjung ke Bukittinggi beberapa bulan yang lalu, ia tidak canggung-canggung berjalan dari Istana Tri Arga menyusuri lorong- lorong pertokoan Pasar Atas hanya untuk makan di rumah makan nasi kapau Uni Lis ini. Rumah makan Uni Lis ini hanya berupa kedai biasa yang sempit, tetapi entah kenapa SBY tidak sungkan makan nasi kapau di sana sampai berkeringat. Setelah saya coba makan di sana dengan dendeng balado, maka komentar saya adalah: cukup sekali ini saja makan nasi kapau Uni Lis karena rasanya pedaaaaasss sekali, lebih pedas dari sambal di Padang maupun di Bandung. Meskipun saya biasa makan masakan pedas, tetapi masakan Uni Lis ini luar biasa pedasnya (ah.. mungkin karena sudah lama di Bandung menikmati masakan Padang yang sudah disesuaikan tingkat kepedasannya sehingga saya sulit lagi beradaptasi dengan kepedasan cabe di Bukittinggi).

Ngomong-ngomong, pedasnya cabe di Bukittingi dan Kabupaten Agam memang melebihi rasa pedas cabe di kota dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Makanya pengusaha keripik balado Christine Hakim di derah Pondok kota Padang menggunakan cabe dari Kabupaten Pasaman ketimbang cabe dari Bukittinggi dan Agam, karena cabe Pasaman tidak sepedas cabe Bukittingi.

Begitulah, mudik tahun ini membawa kesan tersendiri meskipun saya merasa masih ada yang kurang, karena saya tidak sempat ziarah ke makam ayahanda di bukit Seberang Padang. Ini karena saya harus membagi waktu berkunjung ke rumah-rumah saudara baik di Padang maupun di Bukittinggi sehingga waktu yang hanya 6 hari habis untuk kunjung berkunjung saja. Insya Allah saya akan ke sana lagi selagi ibu masih hidup di Padang. Jika ibu tidak ada lagi, mungkin semangat saya untuk mudik ke Padang akan mengendur. Bagi saya, orangtua adalah sumber inspirasi dan penambah semangat hidup. Kini hanya tinggal ibu saya di Padang mengisi hari-hari sepinya.